Not A Friend but A Sister - Sahabat Dunia Akhirat

SAHABAT - sebuah gelar yang kita sematkan pada orang terdekat kita yang selalu ada disaat kita susah maupun gembira. Yah, seperti kebanyakan perempuan lainnya yang ingin punya sahabat, aku pun sama. Apalagi sejak aku duduk dibangku sekolah dasar aku selalu punya teman dekat. Tapi ternyata tidak semudah mencari teman dekat di waktu SD, SMP atau pun SMA, waktu duduk di bangku perkuliahan sangat susah mencari teman dekat. Diterima disebuah Universitas Negeri yang cukup terkenal di sebuah kota besar dengan julukan Universitas mahal sedangkan aku hanya berasal dari keluarga sederhana. Kemudian, ketika kuliah aku dipertemukan dengan orang-orang dari berbagai kalangan yang tersebar luas diberbagai kota di Indonesia membuatku sedikit minder untuk mengajak mereka berteman. Bukan karena aku malu dengan kondisi keluargaku, tapi apa mereka mau berteman denganku?
Itulah hal yang menggangguku ketika pertama kali kuliah sehingga membuatku kesulitan mencari teman. Berbeda kondisi di kampus dengan tempatku tinggal. Aku tinggal di sebuah rumah binaan Islam “Darrul Kayyis” namanya, artinya rumah pintar. Dinamakan rumah pintar karena kami berharap penghuni rumah itu adalah orang-orang pintar tapi bukan hanya dibidang akademik saja melainkan non akademik juga bahkan dalam hal agama. Aku punya teman banyak dirumah itu, ada 10 orang yang tinggal di sana. Tapi aku belum yakin menyematkan gelar sahabat pada mereka. Aku masih mencari sesosok sahabat di kampus karena aku terbiasa punya teman dekat di kelas, sedangkan teman serumah tidak ada yang satu kelas bahkan kami semua berbeda jurusan.
Sejak lulus SMA dan berniat untuk kuliah diluar kota yang jauh dari orang tua aku bertekad untuk menjaga kepercayaan mereka padaku untuk tidak mengikuti pergaulan bebas yang ada disana. Untuk itu ketika kuliah aku berniat untuk mengikuti rohis fakultas untuk menjaga diriku agar tidak terjerumus pergaulan yang salah. Di samping itu aku tinggal di sebuah rumah binaan. Di sana aku belajar tentang Islam lebih dalam dan alhamdulillah satu bulan disana akhirnya aku memutuskan untuk berhijab syar’i. Awalnya agak berat sih harus memakai kerudung yang lebar dan gamis yang kebanyakan orang bilang kayak ibu-ibu. Apalagi hari pertama memakai gamis membuatku kurang PD karena saat itu masih jarang perempuan pakai gamis.
Masih melekat dengan jelas dalam ingatanku saat hari pertama aku memakai gamis waktu kuliah. Hari itu aku agak terlambat datang karena baru selesai masak. Ku lihat pintu kelas sudah ditutup. Itu adalah pertama kalinya aku datang terlambat, dengan perasaan agak takut aku ketuk pintunya. “Tok tok tok, assalamu’ alaikum!!”, kataku sambil membuka pintu.
            “Wa’alaikumussalam”, jawab teman sekelasku dan semua mata tertuju padaku termasuk dosenku. Ku lihat sekilas tatapan mereka yang heran melihatku, lalu dengan tertunduk malu aku berjalan menghampiri sebuah bangku kosong yang ada dideretan paling depan. Tidak hanya itu saja respon yang aku terima ketika awal-awal memakai gamis. Pernah waktu kuliah malam aku pun kembali datang terlambat, sebenarnya bukan hobiku untuk datang telat, tapi karena waktu itu kuliah masuk jam 6 malam sementara adzan maghrib pukul 17.50 ya otomatis aku memilih untuk shalat dulu jadilah aku datang telat. Untungnya saat itu dosennya belum datang dan pintu masih terbuka. Aku pun masuk kelas dan berjalan seperti biasa hingga melewati salah seorang teman laki-laki yang duduk dibangku depan.
            “Ya ampun tak kirain kamu dosennya”, celetuknya. GUBRAAKKK!! Aku pun hanya tersenyum kecut mandengarnya. Dalam hati aku berkata hallo aku masih 18 tahun kali!! Huft.. banyak deh pokoknya respon-respon yang aku terima termasuk sikap teman sekelasku yang akhirnya makin jauh saja karena penampilanku. Merasa semakin sendiri aku pun tetap menjalani hari-hari kuliahku dengan sewajarnya dan tetap mengkaji islam dengan teman-teman serumah binaan yang selalu menguatkanku agar tetap terikat dengan hukum Allah. Hari demi hari aku semakin dekat saja dengan mereka dan ada salah seorang yang akhirnya sampai sekarang menjadi teman dekatku, tapi kami beda fakultas. Dan aku masih saja mencari sesosok sahabat dikelasku. Hingga akhirnya suatu hari ketika aku pulang kuliah aku berjalan dengan dua orang teman sekelasku.
            “Luluk habis ini mau kemana?”, tanya Fia padaku.
            “Pulang kayaknya, kalo kalian?”, tanyaku balik pada Fia dan Yuli.
            “Kita mau ke mall”, jawab mereka hampir bersamaan. “Kamu mau ikut?”, tanya Fia.
            “Nggak deh makasih”, tolakku sambil tersenyum.
            “Ah kamu tuh salah ngajakin si Luluk ke mall Fi, dia itu bukan tipe orang yang kuliah, jalan-jalan, kuliah, jalan-jalan kayak kita. Ya nggak Luk?”, tanyanya. Aku hanya tersenyum.
            “Oh gitu, ya udah kita duluan ya daaah!!”, pamit Fia.
            Entah apa maksud dari perkataan Yuli aku tidak mau ambil pusing, yang jelas dari ajakan dia tadi aku seolah tersadar akan satu hal. Selama ini aku selalu mencari teman dekat di kelas padahal belum tentu mereka mengajakku ke kebaikan, bukan berarti jalan-jalan ke mall itu tidak baik, tapi ada hal yang lebih baik yang mesti kita lakukan yaitu tunduk dengan hukum Allah dan melakukan perintahNya. Sementara di rumah binaan tanpa aku susah-susah mencari sudah banyak sekali orang-orang yang mau berteman denganku dan mengajakku untuk lebih dekat dengan Allah.
            Astaghfirullah dalam hati aku banyak beristighfar karena kurang bersyukur dengan apa yang telah Allah berikan padaku yaitu sesosok orang yang tanpa ku minta mereka untuk menjadi temanku, seolah mereka sudah membuka tangan yang lebar manyambutku terlebih dahulu. Dan hal terpenting adalah mereka selalu menguatkanku agar tetap terikat dengan hukum Allah dikala banyak orang yang mulai menjauhiku karena usahaku yang ingin terikat dengan hulum Allah.
            Hari-hari berikutnya aku tak risau lagi mencari sesosok sahabat dikampus karena aku telah mempunyainya di rumah binaan, bahkan menurutku gelar sahabat sepertinya kurang cocok untuk mereka. Gelar yang pantas disematkan pada mereka adalah SAUDARA sebuah gelar yang lebih tinggi dari gelar SAHABAT. Dan tahukah kalian ketika aku memilih untuk tetap berhijab syar’i dengan konsekuensi akan dijauhi, kini semua itu tidak berlaku lagi.
            Aku telah punya banyak teman sekarang dan aku sudah tidak berharap mereka menjadi sahabatku lagi, melainkan aku ingin mereka menjadikanku SAUDARA mereka dengan mengajak mereka untuk mengkaji ilmu Allah dan menerapkannya sebagai wujud kepatuhan terhadap Allah. Entah bagaimana caranya sampai sekarangpun aku masih berusaha.

#BukuSahabatDuniaAkhirat

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendapatan Dalam Negara KHILAFAH. (tanpa cukai)

my beloved nephew

Kesenagan di Dunia atau Kesenagan di Akhirat